GERAKAN OIKUMENE DALAM PENGEMBANGAN RASA SOLIDARITAS PADA SILA KE-3 PANCASILA

 

BAB 1

LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN

          Indonesia adalah negara yang merdeka. Negara yang telah bebas dari penjajahan negara asing. Kemerdekaan ini tidaklah semudah yang kita pikirkan dapat terwujud. Perlu perjuangan dari para pejuang, para pahlawan, para politikus, bahkan para rakyat biasa. Perjuangan ini dilakukan secara bersama-sama dengan satu tujuan, yaitu kemerdekaan negara Indonesia. Semua perjuangan tersebut telah dituangkan dalam lima sila Pancasila.

          Pancasila adalah wujud dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia, sekaligus cita-cita yang harus secara terus menerus diperjuangankan. Sebagai rakyat Indonesia yang baik, semua cita-cita tersebut haruslah dijaga dengan sangat baik, agar setiap generasi dari bangsa ini dapat merasakannya. Oleh sebab itu, diperlukan juga perjuangan demi melanjutkannya. Bukan perjuangam melawan para penjajah, melainkan berperang melawan diri kita sendiri, seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Karno.[1] Tujuan ungkapan Bung Karno tersebut adalah agar setiap pribadi kita sebagai bangsa yang merdeka dapat melanjutkan serta mewujudkan cita-cita tersebut.

          Persatuan Indonesia, adalah butir ketiga dari Pancasila. Dimana butir Pancasila tersebut memiliki cita-cita agar seluruh rakyat Indonesia dapat bersatu. Rasa solidaritas adalah nilai sosial yang dapat mendukung terwujudnya Persatuan Indonesia. Dengan demikian rasa solidaritas haruslah ditumbuhkan dengan baik, agar setiap rakyat Indonesia dapat merasakan persatuan dan kesatuan. Memang tidaklah mudah, menumbuhkan rasa solidaritas tersebut, perlu metode-metode yang tepat, jika ingin mewujudkannya dengan baik. Dalam memperjuangankan kemerdekaan Indonesia, rasa solidaritas sendiri telah terlihat dengan jelas. Lalu peran gerakan Oikumene dalam pengembangan rasa solidaritas pada sila-3 Pancasila?

lebih lanjut: Pancasila Sila-4 

BAB 2

LANDASAN TEORI

1.     Pengertian Oikumene

KBBI mengartikan oikumene sebagai gerakan yang bertujuan untuk menyatukan atau menghimpun kembali gereja dunia dan akhirnya menyatukan segenap umat Kristen, sedangkan gerakan oikumene adalah gerakan yang bersangkut paut dengan oikumene atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan menghayati keesaannya di dunia supaya hakikatnya yang asasi dapat dihayati dan ditampakkan dengan jelas. Pemahaman tentang diwujudkan gerakan oikumenis: Pertama, gerakan oikumenis antar denominasi yaitu usaha-usaha mewujudkan kesatuan hanya dikalangan Protestan. Kedua, gerakan oikumenis antar agama Kristen yaitu usaha-usaha untuk menyatukan Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Ketiga, gerakan oikumenis antar agama yaitu usaha-usaha untuk menyatukan semua agama di dunia. Oikumene merupakan sebuah istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos' yang berarti: rumah, tempat tinggal; sedangkan 'menein' berarti: tinggal atau berdiam. Pada dasarnya kata Oikumene sama sekali tidak ada hubungan atau bersangkut paut dengan gereja. Karena yang dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam pengertian politis. Jadi istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu dipindahkan ke dalam situasi gereja. Dr. W.H. Visser't Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami, seluruh kekaisaran Roma dan hubungan-hubungan beberapa gereja atau orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda dan keinginan untuk mendapatkan keesaan Kristen. Keesaan inilah yang dijadikan sebagai tujuan utama daripada gerakan Oikumene[2].

2.     Dasar dan Tujuan Gerakan Oikumene Di Indonesia

          Gerakan oikumene di Indonesia berawal dari pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta dalam konferensi pembentukan DGI tanggal 22-28 Mei 1950 di Jakarta. DGI kemudian berganti nama menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sejak Sidang Raya DGI di Ambon (1984) dengan pertimbangan bahwa “persekutuan” lebih mencerminkan kesatuan lahir batin dan lebih gerejawi. Pembentukan organisasi PGI bertujuan untuk mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Signifikansi gerakan oikumene di Indonesia adalah karena melihat keadaan gereja-gereja yang sering diwarnai perkelahian dan perpecahan. Harus diakui bahwa persoalan perbedaan pandangan teologis dan ambisi memiliki andil dalam perpecahan tersebut. Munculnya banyak denominasi di dunia dan terus ke Indonesia justru mengelompokkan umat Tuhan dan tidak jarang satu denominasi merasa lebih benar, lebih baik dan layak dibandingkan denominasi yang lain. Karena itu perlu dicarikan solusi dari keadaan ini melalui gerakan oikumene dengan melihat kepentingan terbesar dari semua kepentingan denominasi yaitu misi Tuhan di emban dengan penuh tanggung jawab oleh gereja-gereja. Dengan gerakan oikumene diharapkan terjalin komunikasi dan interaksi diantara umat-umat Tuhan dan denominasi-denominasi dapat meninggalkan sikap isolasinya. Demikianlah cita-cita oikumene dalam kekristenan diharapkan, bahwa denominasi-denominasi secara bersama-sama membangun persekutuan yang kuat dalam satu kesatuan sebagai tubuh Kristus tanpa menonjolkan dogma/doktrin masing-masing. Doa Tuhan Yesus yang ditulis oleh Yohanes di Yoh.17:21 “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” menjadi dasar Alkitab beroikumenenya gereja. Yesus merindukan supaya orang-orang Kristen sebagai tubuh Kristus bersatu menjadi saksi-saksi Kristus. Dalam perkembangannya gerakan oikumene di Indonesia juga semakin berkembang, setelah PGI kemudian lahirlah organisasi-organisasi lokal yang oikumenis antara lain: Sinode Am Gereja-gereja Sulawesi Utara/Tengah (SAG SULUTTENG); POUK (Persekutuan Oikumene Umat Kristen) di tempat-tempat pemukiman, perusahaan dimana umat Kristen dari berbagai gereja. BK3 (Badan Kerjasama Kegiatan Kristen); BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja). Forum Komunikasi Antar Gereja dan forum tidak melembaga hanya merupakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah atau maksud-maksud lain. Wadah-wadah tersebut tumbuh dari prakarsa gereja-gereja setempat, anggotanya tidak terbatas pada gereja-gereja anggota PGI penyatuan okuimene[3].

Hambatan Gerakan Oikumene

          Mengapa jemaat Tuhan diwarnai dengan perpecahan, sehingga umat Tuhan sampai tercerai-berai. Sebab musababnya terjadinya perpecahan di antara sesama umat percaya, yaitu:

a.      Berkenaan dengan doktrin (Pengajaran)

Berhubung pandangan teologi yang berbeda, terlepas pandangan teologi yang benar atau salah, merupakan pangkal perselisihan yang akhirnya mencerai beraikan gereja. Bapak reformasi Marthi Luther melihat keadaa Gereja sudah sangat jauh meninggalkan Alkitab, maka mincullah kesembilan puluh lima dalil yang digantungkan pada pintu Gereja di Wittenberg, sebagai permulaan gerakan reformasi yang membawa akibat Marthin Luther dan pengikutnya secara beramai-ramai keluar dari Gereja Khatolik Roma.

b.     Berkenaan dengan Emosional

Berhubung pandangan, pendapat yang berbeda, maksud keinginan tidak dituruti dan ada terjadinya kelompok-kelompok yang saling berpihak dan masing-masing membela kelompoknya, sehingga bukan kebenaran yang dibela, tetapi kelompoknya. Sebab itu terlihat kepincangan dan ketidakadilan terjadi dalam gereja, sehingga melibatkan emosi. Permulaan emosi dilampiaskan dengan kasak-kusuk di belakang, tetapi tidak ada penyelesaian dengan baik sehingga terjadi perdebatan dan sampai pada puncaknya terjadilah perpecahan dalam tubuh Gereja tersebut.

Berkenaan dengan Ambisi

Orang-orang yang ambisius tidak mau berada di bawah orang dan mau selalu berada di atas orang. Jika tidak mencapai tujuan, maka ia keluar dengan membawa sebagian orang dan mendirikan Gereja baru.

 

d.     Berkenaan dengan Selera

Ada orang tidak menyukai suasana kebaktian yang kaku, serba formalitas, lalu memisahkan diri. Sebaliknya ada orang yang tidak menyukai suasana kebaktian yang gaduh dengan tangisan atau teriakan yang bersifat emosional, maka keluarlah dari Gereja untuk masuk ke Gereja lain atau memisahkan diri dengan mendirikan Gereja baru yang sesuai dengan kemauan.

Berkenaan dengan Kebenaran Non Sipil

Kebenaran non sipil adalah kebenaran yang tidak mempengaruhi iman kepercayaan yang dianutnya. Misalnya masalah baptisan yang sering diperdebatkan tanpa habis-habisnya. Perpecahan bukan kehendak Tuhan, karena Tuhan dalam doa yang dipanjatkan dalam Yohanes 17, menghendaki pengikutNya bersatu. Meskipun perpecahan sebagai satu kelemahan manusia, bukan kehendak Tuhan tetapi Tuhan mengizinkan. Sebab itu Gereja yang pecah, masih diberkatu dalam bentuk masing-masing bisa berkembang dan tentu perpisahan yang baik dan ideal adalah dalam rangka pengembangan atau pemekaran dari satu Gereja menjadi dua seterusnya[4].

Peran Oikumene Terhadap Pertumbuhan Gereja

a.       Gereja Bertumbuh Secara Kuantitas

            Kisah Para Rasul menunjukkan tentang pertumbuhan gereja yang sangat drastis, orang-orang yang menanggapi secara aktif, memiliki keyakinan yang teguh. Gagasan yang mengatakan “ditambahkan” kepada gereja disebutkan berulang kali ketika gereja terus mengalami pertumbuhan secara kuantitas. Orang-orang yang menerima Firman Tuhan memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Sambil memuji Allah dan mereka disukai semua orang; tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis. 2:41-47). Pada akhirnya, pertumbuhan gereja secara kuantitas berubah dari penambahan menjadi pelipatgandaan. “Firman Allah makin tersebar dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak, juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya” (Kis. 6:7). Dengan demikian Amanat Agung Tuhan Yesus tidak terabaikan dengan cara menjalankan amanatNya Ia memberikan berbagai macam cara untuk melaksanakannya. Pertumbuhan kuantitatif atau jumlah merupakan pertumbuhan yang Alkitabiah terjadi dalam sejarah pertumbuhan gereja dimulai sejak zaman para Rasul. Dalam kitab Kisah Rasul dituliskan bahwa pada awalnya orang-orang yang mengikut Kristus dan disebut sebagai murid Yesus berkumpul di Yerusalem untuk menanti turunnya Roh Kudus. Dari peristiwa pentakosta terjadi para murid yang kemudian menjadi rasul-rasul memiliki kuasa untuk memberitakan Injil di seluruh negeri. Para rasul kemudian dengan berani memberitakan Injil, demikian pula murid-murid yang lain pada waktu itu menerima pencurahan Roh Kudus dengan keberanian memberitakan Injil. Multiplikasi dan pertumbuhan terjadi setelah mereka menerima Roh Kudus dan berani memberitakan Injil Kristus. Khotbah Petrus telah menguncang banyak orang dengan penuh kuasa dan keberanian dari Allah, Ia menyampaikan Karya Kristus kepada orang-orang Yahudi sehingga pada hari itu sekitar tiga ribu orang menerima diri dan dibaptis. Peran gereja adalah  mengundang banyak orang melalui kesaksian, persekutuan, penggembalaan dan pemberitaan Injil. Sehingga bertambahlah para pengikut Kristus dan pemberitaan Injil memiliki peran yang besar baik secara langsung maupun melalui kesaksian pribadi.

Gereja Bertumbuh Secara Kualitas

          Dalam Injil sinoptik murid-murid pertama menyadari bahwa mereka disatukan dalam sebuah komunitas yang telah dipersiapkan oleh Yesus. Dalam konteks kesatuan kepenulisan terlihat melalui usaha Lukas dalam Injil yang menceritakan kehidupan dan pelayanan Yesus bersama dua belas murid yang senantiasa menyertaiNya, di mana mereka menyaksikan sendiri apa yang Yesus perbuat dan ucapkan. Semua mempersiapkan murid-murid menjadi saksi-saksi bagi Kerajaan Allah dan meneruskan pelayananNya. Komunitas jemaat mula-mula yang memancarkan pola-pola perilaku dalam hidup berkomunitas pasca turunnya Roh Kudus.  Orang-orang percaya tetap bersatu dan segala kepunyaan mereka adalah milik bersama (2:44; 4:32).  Seluruh kegiatan dalam komunitas dilakukan dengan rasa tanggung jawab secara status sosial disisihkan dan secara materi berkekurangan. Kemudian gereja Antiokhia melakukan tindakan yang sama kepada gereja Yerusalem yang lebih membutuhkan (Kis. 11:27) sebuah tindakan yang tidak dapat diragukan disarankan oleh rasul Paulus (1Kor. 16:1) sebagai suatu alat untuk mendemonstrasikan kepedulian orang-orang kafir terhadap saudara-saudara mereka orang Yahudi. Pola perilaku yang lain secara spontan dibangun adalah proses penyembahan bersama di bait Allah dan perjamuan kasih di rumah-rumah orang percaya.  Aktivitas-aktivitas yang dikerjakan menolong mengikat orang-orang percaya ke dalam sebuah persekutuan dan membuat mereka mengenali kesatuan esensi mereka dalam Yesus Kristus[5]

          Salah satu sikap yang sangat terlihat jelas dalam Oikumene adalah sikap solidaritas, dimana sikap ini yang mempersatukan serta memperkokoh satu anggota dengan anggota yang lain sehingga membentuk terwujudnya Oikumene secara umum. Selanjutnya kita akan membahas mengenai solidaritas.

SOLIDARITAS

          Solidaritas adalah salah satu rasa yang penting dalam sebuah kelompok lingkungan masyarakat. Solidaritas setiap orang berbeda-beda kadarnya. Solidaritas juga dapat diartikan “rasa berkelompok/group feeling, yaitu sekumpulan orang-orang yang mempunyai rasa persatuan, untuk menunjukkan bentuk-bentuk ikatan sosial.[6]

          Emile Durkheim membagi dua bentuk dari solidaritas, yaitu solidaritas mekanis, dan solidaritas organis. Solidaritas organik ialah solidaritas yang didasarkan pada adanya perbedaan-perbedaan dan kebergantungan yang tinggi. Sedangkan solidaritas mekanis ialah solidaritas yang didasarkan pada tingkat homogenitas (persamaan macam, jenis, atau sifat) yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment, dan sebagainya.[7] Dengan demikian, tujuan dari solidaritas ialah menghasilkan persamaan, rasa saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, dan merupakan suatu pengikat unit-unit kolektif (secara gabungan) seperti keluarga, komunitas, serta kelompok.[8]

Prinsip solidaritas:

·        Harus lahir dari kesadaran setiap pribadi manusia.

·        Harus berdasarkan gerakan yang benar-benar murni.

·        Harus terlahir juga dari kepekaan dan kepedulian

·        Harus disertakan rasa pengorbanan dan pengharapan.

·        Harus bertujuan untuk menggapai keadilan

           Solidaritas memiliki arti integrasi, tingkat, dan jenis integrasi. Solidaritas dapat terlihat jika ditunjukkan oleh masyarakat atau kelompok dengan orang atau tetangga mereka. Hal tersebut mengacu pada hubungan masyarakat, hubungan sosial bahwa orang-orang mengikat satu sama lain. Menurut KBBI, kata ‘Solidaritas’ adalah sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasib dan sebagainya) atau dapat diartikan juga sebagai perasaan setia kawan.[9]

 SILA KE-3 PANCASILA

          Sila ketiga dari Pancasila berbunyi “Persatuan Indonesia”, negara Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai nasionalisme. Kekuatan nilai persatuan dan kesatuan dapat menjaga keutuhan bangsa dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama bagi kelompok manusia. Bangsa yang benar-benar independen lahir dari kesadaran masyarakatnya akan pentingnya persatuan. 

BAB 3

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

1.     Peran Gerakan Oikumenis di Indonesia

          Gerakan oikumene di dunia Internasional melanda ke dunia timur, khususnya di negara Indonesia. Ditambah pula dengan hadirnya utusan dari Indonesia, yaitu profesor Doktor T.S.G Moella, SH. Dalam konferensi internasional Missionery Councill II pada tahun 1928 di Yerusalem dan hadirnya tokoh-tokoh Gereja lain dalam konferensi-konferensi yang bersifat internasional, maka timbullah keinginan dan kerinduan dari jemaat Tuhan untuk mempersatukan Gereja-gereja yang tercerai-berai di Indonesia.keingian dan kerinduan jelas terlihat dalam tanggapan-tanggapan yang positif akan usaha-usaha yang bersifat oikumenis. Usaha untuk mengarah kepada kesatuan di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai pada waktu terjalin bersama di bidang penginjilan dengan terbentuknya perwakilan pekabaran Injil pada tahun 1906. Walaupun tujuan perwakilan pekabaran Injil bukan mengarah pada kesatuan Gereja, tetapi harus diakui peran badan ini dalam mendukung gerakan oikumenis tidak dapat diabaikan. Terbentuknya organisasi-organisasi Kristen di Tanah air merupakan faktor penting dalam rangkan gerakan oikumenis. Di dalam organisasi tersebut adalah Christelljke Studentenverebinging (Perhimpunan mahasiswa-mahasiswa Kristen) yang dibentuk pada tahun 1926[10]. Dalam rangka mewujudkan keinginan dan kerinduan untuk bersatu, diadakan usaha-usaha konkrit yang mengarah pada tujuan kesatua gereja. Dari usaha-usaha tersebut, terbentulah badan-badan yang bersifat ekumenis di Indonesia. Badan-badan inilah yang harus saling memiliki solidaritas sebagai satu kesatuan.    

          Setelah melihat landasan teori mengenai kata “Oikumene” dan kata “solidaritas”, maka tibalah sekarang kita pada pembahasan. Jadi, jika berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja, sebagaimana latar belakang berdirinya Oikumene gereja. Sebab Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja.

          Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan. Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah diadakan. Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat berunding, mengambil keputusan bersama; dengan mempunyai satu pengakuan iman dan tata gereja yang berlaku bagi semua; serta setiap gereja saling menerima, saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang kudus dan am. Namun, rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih menekankan organisasi daripada kesatuan dalam paham atau ajaran.[11] Dengan demikian, tujuan dari solidaritas ialah menghasilkan persamaan, rasa saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, dan merupakan suatu pengikat unit-unit kolektif (secara gabungan) seperti keluarga, komuntas, serta kelompok.

KESIMPULAN

          Pertama, gerakan Oikumene telah mengambil peranan penting bagi kemajuan negara Indonesia. Ya, walaupun banyak orang yang tidak menyadarinya. Gerakan ini berperan khususnya menyatukan gereja dengan gereja, gereja dengan pemerintah, dan gereja dengan masyarakat.

          Kedua, dalam proses penyatuan inilah, gerakan Oikumene mengambil peranannya yang secara tidak sadar terkait erat dengan sila ke-3 Pancasila, yang didalamnya terdapat nilai solidaritas. Nilai solidaritas sendiri telah ada sejak gerakan Oikumene dimulai. Gerakan Oikumene yang signifikan di Indonesia telah memberikan dampak yang baik bagi perkembangan nilai Solidaritas. Inilah peranan gerakan Oikumene yang berhubungan erat dengan nilai Solidaritas dalam sila ke-3 Pancasila. Dengan demikian, gerakan ini haruslah terus dijalankan agar Pancasila sebagai nilai luhur bangsa Indonesia tetap terasa dan tetap terjaga dari generasi ke generasi.  

          Inilah beberapa kesimpulan yang dapat kita lihat dari semua pembahasan yang telah disampaikan oleh penulis mengenai “PERAN GERAKAN OIKUMENE DALAM PENGEMBANGAN RASA SOLIDARITAS PADA SILA KE-3 PANCASILA.”



                [1]https://newsmaker.tribunnews.com/2020/08/12/kumpulan-kutipan-kata-kata-ir-soekarno-peringati-kemerdekaan-indonesia-cocok-diposting-di-medsos (diakses pada ). 

[2] Iswara Rintis Purwantara. Oikumene (Malang: Gandum Mas,2014) Hal 30

 

[3] Ron Jenson & Jim Stevens. Dinamika pertumbuhan Gereja. (Malang: Gandum Mas, 2004) Hal 53 

[4] Ibid              

[5] Dick Iverson & Larry Asplund. Gereja sehat dan bertumbuh. (Malang: Gandum Mas, 2003) Hal 155

                [6] Ike Fari Fadila Sumual, Pryo Sularso, Budiyono, Upaya Menumbuhkan Rasa Solidaritas Kebangsaan Anak Usia Dini 1 Melalui Permainan Bakiak (Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 7 No 2 Oktober 2019, hal hal 117-124 Avaliable online at : http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/Citizenship Print ISSN: 2302-433X Online ISSN : 2579-5740) 

                [7] Soekanto, S., & Mamudji, S. (2007). Penelifian Hukum Normafif Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Raja Grafido Persada. 

                [8] Soekanto, S., Pengantar sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali. 1987) hal. 68 

                [9] KBBI. Suci. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/suci [diakses pada tanggal 03 Mei 2021]. 

        [10] Bob Waymire C. Peter Wagner. Pedoman survei pertumbuhan Gereja. (Malang: Gandum Mas, 1996) Hal 13

                [11] Abineno, Gereja dan Keesaan gereja, hal. 15

Posting Komentar

0 Komentar