SEJARAH MANUSIA MENURUT FILSUF IBNU RASYID


BAB I 

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Kehidupan yang sedang berjalan ini selalu menghasilkan sejarah. Sejarah membuat kehidupan manusia menjadi menarik. Sejarah manusia berperan penting bagi perkembangan pola pikir dari seorang individu. Manusia adalah pelaku utama dari sejarah, yaitu sejarah yang tidak akan berakhir, namun selalu baru, karena sejarah adalah masa atau waktu yang telah berlalu, yang dinggap sebagai sesuatu yang penting untuk dibahas kembali. Jadi, sejarah manusia menjadikan seorang manusia atau individu berkembang dalam segala aspek kehidupan. Perkembangan tersebut akan terlihat jika syaratnya terpenuhi, yaitu bahwa manusia tersebut melakukan evalusi diri. Namun, pada abad pertengahan ada seorang filsuf Islam yang sangat tertarik dengan filsafat barat. Filsuf tersebut menyampaikan teorinya berdasarkan karya dari Filsuf Aritoteles. Sehingga menghasilkan karya baru dengan cara menguraikannya. Salah satu karyanya adalah membahas tentang sejarah manusia. Filsuf Timur tersebut adalah Ibnu Rasyid.

Dalam makalah ini mari kita membahas bersama-sama bagaimana cara pandang Ibnu Rasyid mengenai sejarah manusia.

B.     Rumusan Masalah

·         Apa yang dimaksud dengan sejarah?

·         Apa yang dimaksud dengan Manusia?

·         Bagimana sejarah manusia menurut filsuf Ibnu Rasyd?

o   Latar belakanng Biografi Ibnu rasyid (pendidikan, karir, dan hidupnya)

o   Dasar pandangannya?

o   Pandangan Plato dan Aristoteles?

o   Pertemuan pandangannya dengan Aritoteles?

·         Anaslisi (pendapat diri sendir)

BAB II PEMBAHASAN

A.     Manusia

Hakikat dari manusia adalah makhluk ciptaan yang sempurna. Dalam kehidupan ini manusia memegang peranan penting dalam keberlangsungan lingkungan hidup. Manusia adalah makhluk yang dilengkapi dengan otak dengan kemampuan berfikir yang sangat tinggi, melebihi mahkluk yang lainnya.

Manusia diklasifikasikan sebagai makhluk sosial, yaitu mahkluk yang tidak dapat hidup sendiri di lingkungannya, atau dapat dikatakan sebagai makhluk yang membutuhkan mahkluk yang lainnya untuk bertahan hidup pada lingkunganya, sehingga manusia disebut sebagai Homo Sapiens.

Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia tersebut tidak dapat mencapai apa yang diingikan dengan dirinya sendiri. Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.

Dalam menjalani kehidupanya, manusia selalu menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan tersebut berasal dari kesepakatan dengan manusia lainnya, dan kesepakatan tersebut terbawa melalui generasi menuju generasi.

Manusia digolongkan menjadi dua berdasarkan jenid kelaminnya yaitu laki-laki dan perempuan. Jika digolongkan berdasarkan usia, manusia dibedakan menjadi, yaitu: bayi (0-1 tahun), balita (0-5 tahun), anak-anak (5-11 tahun), remaja awal (12-16 tahun), pemuda (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), manula (65-sampai mati).

Tanda manusia itu hidup adalah bahwa manusia tersebut berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Jika manusia dikatakan sebagai makhluk bermoral adalah jika manusia tersebut berhasil memahami nilai-nilai yang terdapat pada lingkungan sosialnya.

Manusia memiliki hak dasar yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, diantaranya yaitu hak untuk hidup, hak untuk memiliki, hak untuk merdeka, dan hak untuk menentukan secara bebas.

Manusia adalah makhluk yang berusaha terus-menerus mencari makna dalam hidupnya, yaitu kepada yang dipandang olehnya baik, benar, dan indah. Dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan untuk memahami secara akal budi apa saja mengenai kenyataan, kemudian kenyataan tersebut dimaknai untuk mengetahui secara kognitif. Manusia juga memiliki potensi afektif, dan rasa untuk mengagumi dan mengembangkan keindahan atau rasa estetis. Disamping memiliki kemampuan mengembangkan keindahan, kemampuan religius. Kemampuan religius yang dimiliki oleh manusia berguna untuk menghayati kehidupan dari manusia itu sendiri dalam menjawab dan mengartikan ke mana arah perjalanan kehidupannya atau dari mana asal mulanya.[1]

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal pikiran. Manusia merupakan ciptaan yang memiliki derajat paling tinggi di antara ciptaan yang lain. Hal mendasar yang memberdakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal, pikiran, perasan, dan keyakinan. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia ini merupakan konsekuensi fungsi dan tugas sebagai makhluk ciptaan.

Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran dan penyadaran diri, karena manusia menyadari keberadaan dirinya, yaitu bahwa manusia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Manusia memiliki keterbatasan dan ketidakberdayaan.

B.     Pandangan Plato dan Aritoteles

Plato berpendapat bahwa manusia sejak lahirnya telah membawa ide bawaan atau yang disebut dengan Innate Ideas. Ide tersebut digunakan manusia untuk dapat mampu mengenal dan memahami segala sesuatu.[2] Adapun Aristoteles berpendapat bahwa ide-ide bawaan pada manusia itu tidak ada. Menurut Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal hanya dapat dicapai lewat proses pengamatan empirik manusia. Jadi, Aritoteles mengakui bahwa pengamatan inderawi itu tidaklah bersifat kekal, namun dengan memanfaatkan pengamatan dan penyelidikan secara terus menerus, akal akan dapat mengabstraksikan ide-ide dan hukum-hukum yang bersifat universal.[3]

C.     Sejarah

Kata Sejarah atau History, yang kita gunakan pada masa kini berasal dari istilah Arab yaitu Syajaratun atau yang artinya ‘Pohon’. Dari sudut pandang inilah istilah history yang membawa makna ‘penyelidikan atau pengkajian’. Menurut pandangan bapak sejarah yaitu Herodotus, sejarah adalah satu kajian yang digunakan untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunannya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.

Sejarah adalah suatu rekonstruksi masa lalu yang sudah barang tentu disusun oleh komponen-komponen tindakan dari manusia yaitu berupa hal yang dipikirkan, dilakukan dan diucapkan. Dalam arti sederhananya, sejarah adalah suatu bidang yang memperlajari tentang apa yang dilakukan, dipikirkan dan diucapkan manusia pada masa lalu.

Dalam perkembangannya, konsep sejarah mendapat suatu pengertian baru setelah terjadi percampuran antara penulisan kronikel yang ketat secara kronologis dan narasi-narasi sejarah yang bebas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan ilmu tentang manusia. Manusia dan sejarah tidak dapat dipisahkan, sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan sejarah merupakan kesatuan dengan manusia sebagai subjek dan objek sejarah. Jadi, jika manusia dipisahkan dari sejarah maka “ia” bukanlah manusia lagi, melainkan hanya sejenis makhluk biasa, sama seperti hewan.

D.     Filsafat Timur

Seperti Filsafat non-Yunani lainnya, filsafat Islam pada dasarnya adalah perbincangan tentang tuntutan kehidupan yang baik dan pengabdian kepada Allah SWT, dan yang bersumberkan dari keagamaan. Para pemikir Islam yang tidak terlalu menempatkan diri sebagai imam masjid, adalah mereka yang berhasil mengungkapkan lebih dalam dan lengkap filsafat Yunani yang jika dibandingkan dengan filosof Barat. Sebelum pemikir Islam menyebar, Aristoteles hanya dikenal sebagai Bapak Logika melalui buku “Organon”.

Sementara itu, para pemikir Islam telah menerjemahkan dan menyebarkan banyak sekali filsafat Yunani, jauh lebih banyak daripada yang disebarkan pemikir Barat.[4]

Filosof dan imam Islam terdapat perselisihan pendapat. Hal ini secara khas antara filsafat dan agama terdapat perbedaan yang mendasar. Dapat dikatakan bahwa filsafat semata- mata didasari oleh akal, sedangkan agama didasari oleh keyakinan yang mendalam atas kebenaran kepada Allah sehingga bersifat dogmatis. Filsafat Islam secara khas merupakan pemikiran yang berada dalam suasana keyakinan, atau “gabungan” antara akal dan keyakinan. Secara umum filsafat Islam ditandai dengan ciri paripatetik, yaitu yang menyenyawakan pandangan Islam, Aristotelian, dan Neoplatonisme.

E.      Biografi Ibnu Rasyid

Ibnu Rusyd, dengan nama lengkapnya yaitu Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Filosof islam ini lahir di Cordova, Andalusia, Spanyol, pada tahun 520 M. Nama Ibnu Rasyd dalam bahasa latin biasa disebut sebagai Averroes. Ibnu Rasyd adalah seorang filsuf dan pemikir dari Al-Andalus yang menuliskan ilmunya dalam berbagai bidang, diantaranya adalah bidang disiplin ilmu, termasuk juga bidang filsafat, akidah atau juga dalam teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, hukum Islam, dan linguistik. Karya-karya filsafatnya termasuk dalam banyak tafsiran, parafrase, dan ringkasan karya-karya Aristoteles, yang membuatnya dijuluki oleh dunia barat sebagai "Sang Penafsir". Ibnu Rusyd pada masa hidupnya mengabdi sebagai hakim dan dokter istana untuk Kekhalifahan Muwahhidun, yaitu pada kerajaan Islam.

Ibnu Rusyd berasal dari keluarga yang melahirkan hakim-hakim terkenal, diantaranya adalah kakeknya yang adalah qadhi al-qudhat (hakim kepala) dan ahli hukum terkenal di kota itu. Pada tahun 1169, ia bertemu dengan khalifah Abu Yaqub Yusuf, yang terkesan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd.

Sang khalifah kemudian mendukung Ibnu Rusyd dan banyak karya Ibnu Rusyd dalam proyek yang ditugaskannya. Ibnu Rusyd juga beberapa kali menjabat sebagai hakim di Sevilla dan Kordoba. Pada 1182, ia ditunjuk sebagai dokter istana dan hakim kepala di Kordoba. Setelah wafatnya Abu Yusuf pada tahun 1184, ia masih berhubungan baik dengan istana, hingga 1195 saat dia dikenai berbagai tuduhan dengan motif politik. Pengadilan lalu memutuskan bahwa ajarannya sesat dan Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena. Setelah beberapa tahun di pengasingan oleh karena tuduhan yang dilontarkan terhadap dirinya, istana memanggil Ibnu Rasyd untuk bertugas kembali, tetapi tidak berlangsung lama karena Ibnu Rusyd wafat.

Ibnu Rusyd adalah pendukung ajaran filsafat Aristoteles (Aristotelianisme). Ia berusaha mengembalikan filsafat dunia Islam ke ajaran Aristoteles yang asli. Ia mengkritik corak Neoplatonisme yang terdapat pada filsafat pemikir-pemikir Islam yang sebelumnya seperti Al- Farabi dan Ibnu Sina, yang ia anggap menyimpang dari filsafat Aristoteles. Ia membela kegiatan berfilsafat dari kritik yang dilancarkan para ulama Asy'ariyah seperti Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dalam agama Islam berfilsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk kalangan tertentu. Ia juga berpendapat bahwa teks Quran dan Hadis dapat diinterpretasikan secara tersirat atau kiasan jika teks tersebut terlihat bertentangan dengan kesimpulan yang ditemukan melalui akal dan filsafat. Dalam bidang fikih atau hukum Islam, ia menulis Bidayatul Mujtahid yang membahas perbedaan mazhab dalam hukum Islam. Dalam kedokteran, ia menghasilkan gagagan baru mengenai fungsi retina dalam penglihatan, penyebab strok, dan gejala-gejala penyakit Parkinson, serta menulis buku yang kelak diterjemahkan menjadi sebuah buku teks standar di Eropa.

Ibnu Rasyid adalah seorang filsuf yang sangat teropsesi dengan semua karya-karya Aristoteles. Semua karya-karya tersebut di uraikannya selama masa hidupnya.

Ia dianggap sebagai seorang yang “mengenalkan” filsafat Yunani kepada dunia barat, terutama Eropa sehingga pemikirannya dinilai sangat memengaruhi pemikiran Eropa dan Barat pada umumnya. Sebagai filosof, pemikirannya yang sangat rasional sering dianggap “bertentangan” dengan ajaran agama (Islam) dalam menangani sesuatu. Tetapi sebagai pemikir Islam, ia lebih dahulu mengenal Islam sehingga ia sekaligus mejadi penyebar kebenaran Islam.[5]

Pengaruh filsafat atau pandangan dari Ibnu Rusyd bagi dunia Barat jauh lebih besar dibandingkan bagi dunia Islam. Ibnu Rusyd menulis banyak tafsiran terhadap karya-karya Aristoteles, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan bahasa Latin dan beredar di Eropa. Terjemahan dari karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Rusyd memicu para pemikir Eropa Barat untuk kembali mengkaji karya-karya Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya, setelah lama diabaikan sejak jatuhnya kekaisaran Romawi. Pendapat-pendapat Ibnu Rusyd juga menimbulkan kontroversi di dunia Kristen Latin, dan menginspirasi sebuah gerakan filsafat yang disebut Averroisme.     Salah    satu    Teori    dari    Ibnu    Rasyid yang kontroversional di dunia barat adalah teori yang disebut sebagai “Kesatuan Akal”. Teori ini menyatakan bahwa ada satu “akal” dan “intelek” yang bersama-sama dimiliki oleh seluruh manusia. Teori ini di tafsirnya atas buku Aristoteles, yang berjudul De Anima. Aristoteles menegaskan melalui bukunya De Anima ini bahwa jiwa adalah suatu bentuk dan menyatakan kekaguman bagi mereka yang percaya bahwa jiwa itu berbentuk. Tujuan dari teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan dapat bersifat universal berdasarkan kerangka teori pikiran Aristoteles. Teori pikiran adalah sebuah teori bahwa pikiran tidak dapat langsung diobservasi. Anggapan bahwa orang lain memiliki suatu pikiran diistilahkan teori pikiran karena setiap manusia hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi, dan tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Intelek yang dimaksud adalah memahami dengan mengumpulkan, memilih, menyerap, dan membaca. Namun, karya-karya dari Ibnu Rasyid ini dinyatakan sesat oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1270 dan 1277, dan pemikir Kristen Thomas Aquinas menulis kritik-kritik tajam terhadap doktrin Ibnu Rusyd.

BAB III

PENUTUP

ANALISIS

Ibnu Rasyd dalam pandangannya sangatlah tertarik dengan filsafat barat, terlebih lagi dengan filsuf Aristoteles dan pandangan-pandangannya. Rasa kagum tersebut dapat terlihat dari buku-bukunya yang telah ditulisnya. Buku-bukunya merupakan dalil dari pemikirannya yang sangat mengagumi Filsafat barat dan aliran-alirannya. Julukan Ibnu Rasyid sebagai “Sang Penafsir” menurut saya telah menjadikannya seorang yang rasional dan liberal dalam memandang hasil pemikiran orang lain.

Konsekuensi dari pikiran manusia adalah berfikir dengan tidak henti-hentinya. Hal ini menandakan bahwa manusia tersebut hidup. Manusai dapat berfikir liberal saat semua bukti- bukti yang telah dicarinya mendukung jalan pikirannya atau pendapatnya.

Sejarah manusia mempengaruhi esensi manusia sebagai mahkluk ciptaan, yang selalu melakukan kegiatan yang akan menghasilkan sejarah. Akal dan intelek manusia terlihat jelas pada garis sejarah manusia. Karena tanpa sejarah manusia hanyalah makhluk biasa yang


hampir sama dengan binatang. Jika, sejarah tanpa menusia akan menghasilkan sejarah yang hampa, dan semu. Jadi, sejarah dan manusia adalah dua aspek yang tidak akan dapat bisa dipisahkan.

Berdasarkan semua pembahasan di atas, inilah pandangan sejarah manusia menurut Ibnu Rasyid bahwa akal yang adalah jalan pikiran seseorang atau daya pikir, atau dapat juga disebut sebagai kemampuan memahami lingkungannya sendiri, yaitu berdasarkan dimana ia berada. Sedangkan, intelek merupakan daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi dan yang berkenan dengan pemikiran atau dapat juga disebut sebagai kecerdasan berfikir. Kedua objek inilah yang dicermati dengan teliti dan kritis oleh Ibnu Rasyid sebagai hal yang akan menentukan sejarah manusia yang sedang dijalani oleh manusia itu sendiri. Alasan pertama adalah karena akal dan intelek yang dianggap oleh Ibnu Rasyid yang saling terpisah dan memiliki satu bagiannya masing-masing.

Melalui akal, sejarah manusia dapat ditentukan kemana arah tujuan sejarah manusia tersebut. Sedangakan melalui intelek, sejarah manusia akan dapat ditentukan “kualitas”-nya dan bahkan tidak sampai disitu saja, melalui intelek “kualitas” dari sejarah manusia tersebut dapat ditingkatkan terus menjadi semakin “berkualitas”. Jika semakin berkualitas maka dampak positifnya bukan hanya akan berguna bagi dirinya saja secara individu tetapi juga bagi semua manusia. Hal tersebut akan terwujud karena akal dan intelek manusia selalu berkembang dari masa ke masa. Namun, akibanya bahwa sejarah manusia tidak akan pernah beehenti selama manusia tersebut masih ada.



[1] Yulia Siska, Manusia dan Sejarah: Sebuah Tinjauan Filosofis (Garudhawaca 2015) hlm.xiii

[2] Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan Prof. Dr. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 256.

[3] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), hlm. 52

[4] WIRAMIHARDJA SUTARDJO A. Pengantar Filsafat. (Bandung: Refika ADITAMA. 2009) Hal. 98-99

[5] Ibid. 100-101

Posting Komentar

0 Komentar